Foto: pixabay
Menjaga laut saat pandemi? Rada ironis karena pandemi telah sehatkan laut kita. Ikan, terumbu karang, semua penghuni laut lebih bergembira karena Tuhan seimbangkan alam. Sepinya orang berkunjung ke laut membuat laut bisa rehat sejenak. Laut tidak perlu khawatir turis yang membuang sampah sembarangan, menganggu atau merusak terumbu karang. Nelayan pengebom atau penebar pukat harimau untuk dapatkan tangkapan ikan secara maksimal pun jarang. Begitu pun perburuan hiu, kura-kura dan teman-teman mereka. Pengelola obyek wisata hentikan pembangunan, berbalik membersihkan obyek wisata. Meski kapal ikan asing aktif datang ke perairan kita.
Jadi ... kalau ingin jaga laut dan pantai saat pandemi, tahan diri untuk tak datang ke pantai dan laut hehe. Sampai pandemi benar-benar pergi. Kalau pun ke laut, harus menjaga sikap. Buang sampah pada tempatnya dan tetap sopan serta santun. Kecuali ingin membuat tersinggung atau marah para jin penunggu laut atau mengotori pantai, laut kita.
Bagi saya mudah untuk tidak datangi laut saat pandemi masih ada. Tapii saya ndak bisa jamin mereka yang kebelet jalan-jalan dan merasa suntuk tiga bulanan stay at home akan lakukan hal sama. Apalagi di kota kami, Yogyakarta, obyek wisata mulai dibuka. Sebelum dibuka resmi saja masyarakat sudah mulai ke pantai. Apalagi kalau pemda DIY resmi membuka obyek wisata, turis bisa dipastikan tidak hanya dari dalam Yogya.
Selain turis, pengelola obyek wisata, pemerintah, nelayan juga berperan untuk bisa kembali 'sakitkan' laut kita.
Jadi apa yang bisa saya lakukan? Apalagi rumah jauh dari laut, liburan ke laut belum jadi kebutuhan. Saya lalu ingat dengan sampah, terutama sampah plastik. Bukankah Indonesia adalah negara nomer dua penyumbang sampah plastik terbesar tahun 2018? Laut kita pun tak luput dari sampah ini.
Foto: telegram kelola sampah inswa
Saya dan keluarga sudah mulai biasakan diri memilah sampah plastik bekas bungkus deterjen, kopi sachet dan sejenisnya, botol plastik serta dus. Dulu sebelum pensiun, tetangga kami yang juga guru di SMP suka menerima bekas bungkus plastik kami. Beliau dan murid-muridnya menjadikan bekas bungkus plastik tersebut menjadi kerajinan tangan. Setelah beliau pensiun, alhamdulillah ada butik daur ulang satu kilometeran jaraknya dari rumah. Butik itu menerima bekas bungkus plastik dan minyak jelantah untuk didaur ulang. Menjadi kerajinan tangan tas, dompet dan lain-lain atau biodiesel minyak jelantah.
Foto: Instagram projectbindonesia
Dua tiga kali menyetor bekas bungkus plastik dan minyak jelantah seraya berkata, "Sedekah sampah, ya, Mbak?" Ada sensasi tersendiri. Melihat wajah lega, gembira Si Mbak penjaga counter butik daur ulang, hati ikut senang, puas dan lega.
Kebiasaan baru dan belum terbiasa karena lupa adalah membawa wadah sendiri atau tas ramah lingkungan ketika belanja. Pernah gara-gara lupa membawa tas sendiri agar tidak perlu mendapat tas plastik dari toko langganan, tangan repot membawa belanjaan. Untung ada jilbab yang bisa dipakai menutupi. Aman.
Semoga kebiasaan baik mengurangi sampah plastik, minyak jelantah bisa ditularkan ke tetangga, teman, saudara, sebanyak-banyak orang yang bisa dijangkau. I have a little plan. How about you?
Bukankah kalimat bijak mengatakan jarak seribu mil dimulai dari satu langkah?
Saya sudah berbagi pemgalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya bisa Anda lihat di sini: https://bit.ly/lombaBlogPerubahanIklim
Saya sudah berbagi pemgalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya bisa Anda lihat di sini: https://bit.ly/lombaBlogPerubahanIklim
Komentar
Posting Komentar