Bu Amir, Penjual Soto Yosodipuran Solo

 



Sumber cerita: Bu Das Salirawati, dosen UNY dishare Om Dar, WA Paguyupan Al Barokah

Sumber foto: Photo by Raphiell Alfaridzy on Unsplash

Dalam rangka perjalanan untuk pekerjaan ke Solo, suatu hari saya mampir makan di warung soto di Solo.

Habis bubaran shalat Jum’at, saya mampir ke warung soto yang sangat ramai dikunjungi orang. Saya pikir soto ini pasti enak karena pengunjungnya sampai ke teras warung. Ketika saya melihat sekeliling meja, suasananya rada aneh. Banyak sekali abang-abang becak yang makan di sana.

“Hemmm ... pantesan rame, sotonya memang benar-benar enak!”

Ketika selesai makan dan mau membayar, Bu Amir pemilik warung soto melarang saya keluarkan uang. “Tidak usah bayar, Dik. Terima kasih kunjungannya.” Dengan penuh rasa heran saya bertanya alasan kenapa tidak mau dibayar.

“Ini hari Jumat, Dik. Di sini tiap Jumat gratis!” Masya Alloh, terjawab sudah kenapa sebagian besar yang makan di warung ini tukang becak. Setengah bingung saya mencoba mendekat ke tempat Bu Amir duduk.

“Ibu, apa tidak rugi jual soto seharian tidak dapat uang?” tanya saya setengah menyelidik.

“Dik, dari hari Sabtu sampai Kamis kan alhamdulillah kami dikasih rejeki, dikasih untung sama Alloh! Kalau kami bersyukur dengan cara menggratiskan satu hari, untungnya masih sangat banyak untuk ukuran kami. Kalau mau jujur seharusnya kami memberikan hak kepada Alloh minimal 30%! Coba Adik pikir, siapa yang menggerakkan hati pelanggan-pelanggan kami untuk datang kemari? Kalau kami harus membayar salesman, berapa uang yang harus kami bayar? Semoga dengan 1/7 bagian ini Alloh ridha. Sebagian besar hasil usaha ini kami gunakan untuk membiayai empat anak kami. Mereka kuliah semua, Dik. Satu di Kedokteran UGM, satu di Teknik Sipil ITB, yang dua lagi di UNS sini. Kalau bukan karena pertolongan Alloh, mana bisa usaha kami yang sekecil ini membiayai kuliah empat orang!” Bu Amir menjelaskan panjang lebar.

Jelegeeer ....!!! Saya seperti disambar petir. Warung soto sekecil ini bisa membiayai anaknya empat kuliah di universitas negeri semua! Bahkan malah masih  bisa memberi makan kepada tukang-tukang becak dan semua orang yang berkunjung ke warungnya setiap hari Jumat, gratis lagi!!!

Saya tidak kehilangan akal, untuk membayar rasa kagum dan rasa bersalah makan soto gratis, saya masuk Mall dan membeli dompet cantik buat hadiah Bu Amir. Saya pikir, “Masa Bu Amir tidak mau dikasih dompet secantik ini?” Dalam waktu tidak sampai satu jam saya sudah kembali ke warungnya.

“Lho, kok balik lagi, ada yang ketinggalan, Dik?” sapa Bu Amir heran.

“Mohon maaf, Bu. Ini hadiah dari saya, tolong diterima. Anggap saja sebagai kenang-kenangan dari saya buat ibu yang telah memberi pelajaran hidup yang sangat berarti buat saya.” Dengan senyum tulus dan bicara halus, Bu Amir menolak.

“Dik, terima kasih hadiahnya, maaf, bukan ibu menolak. Ibu cukup pakai dompet ini saja, kenang-kenangan dari suami ibu ketika beliau masih ada. Awet banget, tuh sampe sekarang masih bagus.” Bu Amir menepuk bahu saya.

“Bawa saja pulang dan hadiahkan buat ibumu. Percayalah, ibumu pasti senang dapat oleh-oleh dari Solo. Adik mampir di warung ibu saja sudah merupakan sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai. Ibu senang, benar-benar senang sudah bisa ngobrol sama Adik.” Bu Amir berkata sambil tersenyum.

Saya kehilangan akal dan hanya bisa pamit sambil menundukkan kepala ....

 

Komentar