Photo Image by Sabrap59 from Pixabay
sumber cerita: grup wa, Mbak Ciciek
Seorang lelaki
tua, berpakaian lusuh menampakkan jelas kefakiran yang ia alami memasuki toko
untuk membeli selimut. Ia membutuhkan lima buah selimut untuk keluarganya di
musim hujan dengan cuaca dingin. Uang yang dimiliki hanya seratus ribu. Ia
sudah berkeliling di pasar namun tidak ada toko yang menjual harga seratus ribu
untuk lima selimut. Putus asa ia memasuki toko terakhir yang lebih megah di
pasar tersebut. Ragu suara lelaki tua bertanya, “Saya membutuhkan lima selimut
... tapi saya hanya punya uang seratus ribu ... apakah Bapak menjualnya?”
“Oh,
ada Pak, saya punya selimut bagus buatan Turki, harganya juga murah, hanya
dualima ribu per buah. Kalau Bapak beli empat buah akan mendapat bonus satu
buah.” Pemilik toko menjawab.
Lega
.... terpancar di wajah lelaki itu. Segera ia mengulurkan lembaran uang seratus
ribu miliknya. Dengan wajah berseri sambil membawa selimut, ia berlalu pergi.
Anak si pedagang yang dari tadi
duduk memperhatikan berkata, “Ayah ... kok bisa??? Bukankah kemarin Ayah
mengatakan selimut itu jenis selimut termahal di toko ini? Kalau tidak salah
kemarin Ayah mengatakan seharga dua ratus ribu per helai ...!?”
Sang ayah tersenyum. “Benar sekali.
Kemarin kita menjualnya duaratus ribu kepada pembeli yang lain tidak kurang
sedikitpun. Kemarin kita berdagang dengan manusia. Hari ini kita berdagang
dengan Alloh. Ayah ingin keluarga
laki-laki tua tadi dapat terhindar dari dingin di musim dingin ini. Ayah
berharap Alloh menyelamatkan keluarga kita dari panasnya api neraka di akhirat
nanti. Sesungguhnya ... kalaulah tidak karena menjaga harga diri laki-laki tua
tadi, Ayah tidak ingin menerima darinya uang sedikitpun. Ayah tidak ingin ia
merasa menerima sedekah sehingga mersa malu di hadapan kita.”
Si anak tersenyum mengambil hikmah
atas pelajaran berharga yang diperoleh hari ini dari ayahandanya.
Sampai di rumah, sang lelaki tua disambut istrinya gembira kemudian membuka bungkusan selimut dan terkejut. “Darimana Ayah dapat uang beli selimut mahal ini?”
“Dari uang yang Ibu kasih tadi?” jawabnya sambil merebahkan diri di lantai, kelelahan.
“Tidak mungkin seratus ribu untuk
mendapat selimut ini. Jangankan lima, satu saja tidak dapat.” Percakapan ini
didengar sang anak yang kemudian menghampiri.
“Ini harganya duaratus lima puluh
ribu rupiah per lembar, Ayaaahh.” Si ayah bangkit melihat label harga yang
ditunjukkan anaknya.
“Sepertinya si pemilik toko salah,
tadi dia bilang harganya dualima ribu rupiah per lembar. Karena ayah beli
empat, dapat bonus satu.” Cerita sang ayah.
Semua terpaku diam ....
“Besok Ayah antar lagi ke toko itu.
Jangan dipakai dulu, ya?” Suara Ibu memecah kesunyian.
“Ayah kelihatan capek, aku saja
yang antarkan sekarang. Di toko mana Ayah beli selimut ini?” Si anak
menanggapi.
“Kenapa harus sekarang, Nak? Tadi
Ibu lihat kamu sedang menjahit pesanan Bu Kino untuk besok,” tanya sang ibu.
“Ibu ... kasihan pedangang itu
kalau nanti dia jual lagi ke orang lain dengan harga sama seperti dia jual ke Ayah.
Jahitan Bu Kino bisa saya selesaikan nanti malam,” jawab si anak. Sang ayah
tersenyum bahagia dan bangga, kemudian menjelskan toko tempatnya membeli
selimut. Si anak pun mengayuh sepeda menuju pasar.
“Silakan masuk, Nona.” Sapa ramah
seorang pemuda saat melihat gadis muda celingak-celinguk di depan tokonya.
“Maaf, Bang. Tadi adakah Abang
menjual selimut ini ke seorang tua? Saya anaknya dan mau mengembalikan selimut
ini.” Dari bungkusnya si pemuda sudah tahu bahwa itu memang selimut yang dijual
ayahnya tadi.
“Maaf, Nona. Apakah ada barang yang
rusak? Saya akan ganti dengan yang lain.”
“Oh, tidak. Saya mau mengembalikan
bukan karena rusak tapi Abang salah lihat harga. Di label ini dua ratus lima
puluh ribu, bukan dua lima ribu rupiah....” Si pemuda berpikir sejenak sambil
pura-pura memeriksa selimut tersebut.
“Terima kasih ... nona telah menyelamatkan saya dari kerugian besar.
Coba bayangkan jika semua itu (sambil menunjuk tumpukan selimut) saya jual
dualima ribu, berapa besar kerugian saya. Untuk itu ... saya hadiahkan selimut
ini untuk ayah nona.”
“Benar yang dibilang anak saya. Harap
diterima juga uang ini.” Sang pemilik toko yang dari tadi hanya menonton,
menimpali sambil menyodorkan uang seratus ribu ke anak tersebut.
“Eee ....”
“Jangan menolak, Nona. Ini sekedar
ucapan terima kasih saja. Nona telah menyelamatkan
kami jauh lebih besar dari nilai uang ini. Bawalah selimut tersebut pulang dan
tolong kembalikan uang ini ke ayahmu.”
Sungguh ... bermuamalah yang benar
kepad Alloh butuh seni dan akhlak tinggi.

Komentar
Posting Komentar