Sumber tulisan: dari Bu Elma Pujana, grup WA Paguyupan RT 05 , pernah baca di facebook juga
Sumber foto: pixabay
“Wah ... pisangnya bagus-bagus,
Mbah,” kataku sembari jongkok di depan perempuan sepuh yang berjualan di
pinggir pasar.
“Lha monggo ... dipundut, silakan
dibeli .... “ Perempuan sepuh itu riang menjawab.
Sungguh sudah sangat sepuh, rautnya
penuh kerut. Kulitnya hitam, kurus badannya. Tapi suaranya cemengkling riang, giginya terlihat masih utuh.
“Ini kapok kuning ... bagus dikolak. Ini kapok putih ... kalau digoreng sangat manis. Lha kalau itu ... pisang pista, kulit tipis ... harum manis. Tapi jangan dibeli karena belum mateng. .... “ Aku hanya diam memperhatikan gerak tangannya yang cekatan, meskipun telah dhredheg (gemetar).
“Sudah lama jualan, Mbah?”
“Belum, ini ngejar rejeki buat
lebaran.”
“Putranya berapa, Mbah?”
“Kathah
... banyak. Pada glidik, kerja.”
“Kok nggak rehat aja ta, Mbah? Siyam
siyam kok jualan. Puasa puasa kok jualan.”
“Lha nggih, ini karena siyam niku
ta, nggak boleh rehat. Mumpung Gusti Alloh paring sehat.” Aku tercenung dengan
jawaban perempuan sepuh itu. Kulihat tangannya mengelap kening dan dahi yang dleweran keringat dengan selendang
lusuhnya. Di antara para penjual ‘liar’ di pinggir jalan depan pasar itu,
perempuan sepuh ini satu di antara mereka yang menggelar dagangan tanpa
iyup-iyup, peneduh. Padahal hari itu panas luar biasa.
“Kalau pulang jam berapa, Mbah?”
“Jam tiga sudah pulang. Lha ada
kewajiban nyiapkan wedang, minuman buat anak-anak TPA.”
“Kok kewajiban, yang mewajibkan siapa,
Mbah?”
“Nggih kula, ya saya sendiri.”
“Ooo ... begitu. Setiap hari, selama
puasa?’
“Inggih. Wong cuma anak limapuluhan.
.... ”
“Wah panjenengan hebat nggih, Mbah.
....”
“Halah wedang sama panganan kecil-kecil. Yang penting bocah-bocah rajin mengaji . Mbah sudah seneng. Jangan bodoh kaya Mbahe yang cuma bisa Fatihah. .... “ Aku makin tercekat. Kumasukkan semua pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.
“Kok banyak banget ... mau buat apa?” tanya si Mbah heran. Aku hanya tersenyum.
“Semua berapa, Mbah?” Perempuan
sepuh itu menyebutkan nominal yang membuatku tercengang.
“Kok murah banget, Mbah?”
“Mboten, enggak. Itu sudah pas. Ini
bukan pisang kulakan, panen kebun sendiri.”
“Nggih ... matur nuwun,“ kataku
sembari mengulurkan uang.
“Aduh ... nggak ada kembalian, belum
kepayon, laku.”
“Saya tukar dulu, Mbah.” Aku sengaja
meninggalkan perempuan sepuh itu. Pisang telah kuletakkan di motor. Mesin motor
kunyalakan agak menjauh dari perempuan sepuh itu. Kumasukkan beberapa lembar
uang lima ribuan baru ke dalam amplop. Cukup dibagi satu-satu untuk anak TPA
yang katanya cah limapuluhan tadi.
Penutup lem amplop kubuka lalu kurapatkan.
“Niki, ini, Mbah sudah saya tukar,
sudah pas, nggih. ....“ Perempuan sepuh itu menerima amplop masih dengan tangan
dhredheg. Tanpa menunggu jawaban, aku
segera pergi. Esoknya aku mampir lagi tapi kosong. Berikutnya aku mampir lagi,
kosong juga. Penasaran kutanya pada ibu pedagang sebelahnya.
“Mbahe kok nggak jualan, Mbak?”
“Oh, nggak. Beliau jualan kalau
panen pisang saja. ... Sampeyan ta yang kemarin ngasih amplop ... walah Mbahe
nangis nguguk. Jare bejo, dapet qodaran. ....”
Qodaran ... barangkali yang
dimaksudkan adalah lailatul qadr. Malam yang konon lebih baik dari seribu
bulan. Para malaikat turun dari langit, langit hati kita. Menyelesaikan segala
urusan. Alloh melapangkan rejeki dan kemuliaannya bagi yang dikehendaki, pun
mempersempit bagi yang dikehendaki pula.
Wallahu’alam bish shawab.

Komentar
Posting Komentar