Doa Para Pendoa


 Sumber foto: pixabay

Cerita dinukil dari buku Doa Para Pendoa susunan Saptuari (?), dishare Mbak Nana, grup WA

Rezeki itu bukan dari konsumen, mereka itu hanya perantara saja. Rezeki itu tetap hak mutlaknya Alloh.

Waktu itu usai Isya duduk sendirian di depan warung, saya tanya kepada manajer warung bagaimana penjualan hari ini. “Agak sepi, nih, Mas, mungkin karena akhir bulan belum gajian, jadi pada ngirit nggak jajan di luar,” katanya.

Dari jauh ada lelaki tua naik sepeda memboncengkan dua anak kecil. Aaah bapak itu, muazin di masjid kampung sebelah. Saya mengenalnya, suara parau beliau setiap Subuh bergema. Beliau yang mewakafkan tanah di sebelah rumahnya untuk dijadikan masjid. Dialah orang kaya sesungguhnya.

Setiap pagi dengan sepeda yang sudah karatan beliau berangkat ke sawah sebagai buruh tani, mengerjakan sawah orang lain dengan bayaran tak seberapa.

“Pak ... Pak, sekedap, Pak!” Saya memanggil.

Pripun, Mas? Sehat ta, Panjenengan?”

“Sehat, Pak, alhamdulillah. Saya nyuwun Panjenengan membacakan doa untuk warung saya malam ini, doa dari Panjenengan langsung.”

Dengan berdiri memegang stang sepeda, Pak Tua itu menunduk, membacakan doa seperti yang saya minta, menutupnya dengan mengusap wajah.

“Sampun, Mas. Kulo lanjut, nggih, ajeng ngeterke anak kulo tumbas buah. Saya lanjut, ya. Mau mengantarkan anak saya beli buah.” Saya langsung meyelipkan selembar uang kepada anak-anak itu. Mereka menerimanya dengan mata berbinar. Bayangan tubuh mereka naik sepeda sekilas tampak dari sorot lampu mobil yang bersliweran.

Saya duduk. Tak lama berselang sebuah mobil berhenti. Tiga orang masuk ke dalam, pesan tengkleng dan sate berbarengan.

Tiba-tiba berhenti dua mobil lagi, rombongan yang baru pulang wisata di Gunung Kidul. Satu. Dua. Tiga. Empat. Sepuluh orang turun bebarengan, riuh rendah dengan suara candaan. Satu, dua motor ikut berhenti. Satu lagi mobil parkir. Tidak ada setengah jam, seluruh meja telah terisi wajah-wajah orang kelaparan. Lima karywan warung tampak kewalahan. Saya pun turun tangan, ikut menata piring-piring sate untuk dihidangkan.

*****

Hampir jam setengah sepuluh malam, saya bertanya pada Agus manajer saya.

“Piye,Gus?”

“Ludessss, Boss! Ludeeesss..!”

Ah, sambil berjalan pulang saya memandang langit penuh bintang. Gusti Alloh itu mboten sare. Sungguh. Alloh itu tak pernah tidur.

*****


Komentar