foto: pixabay
sumber cerita: grup WA
Ada sahabat Nabi saw yang bernama Sya’ban ra. Ia
seorang sahabat yang tidak menonjol dibanding sahabat lain. Satu kebiasaan unik
beliau yaitu setiap masuk masjid sebelum shalat berjama’ah selalu beritikaf di
pojok depan masjid. Beliau mengambil posisi di pojok bukan agar mudah bersandar
atau tidur namun karena tidak mau menganggu orang lain dan tak mau terganggu
orang lain dalam beribadah. Kebiasaan ini sudah dipahami oleh sahabat yang lain
bahkan oleh Rasulullah saw.
Satu pagi saat shalat Subuh berjama’ah kan dimulai
Rasulullh saw mendapati Sya’ban tidak berada di posisi seperti biasa. Nabi
bertanya pada jama’ah yang hadir apakah ada yang melihat Sya’ban? Tak seorang
pun melihatnya. Shalat Shubuh ditunda sejenak menunggu kehadiran Sya’ban.
Ditunggu belum juga datang dan kuatir kesiangan, Nabi memutuskan segera
melaksanakan shalat Subuh berjama’ah.
Selesai shalat Shubuh, Nabi bertanya apa ada yang
mengetaui kabar Sya’ban? Tak seorang pun menjawab. Nabi bertanya adakah yang
mengetahui dimana rumah Sya’ban? Seorang sahabat mengangkat tangan dan
mengatakan dia mengetahui persis simana rumah Sya’ban. Nabi kuatir terjadi
sesuatu dengan Sya’ban dan meminta diantarkan ke rumahnya.
Perjalanan dengan berjalan kaki ditempuh cukup lama
oleh Nabi dan rombongan. Rombongan Nabi sampai saat waktu afdol untuk shalat
Dhuha (kir-kira tiga jam perjalanan). Sampai di depan rumah, Nabi mengucap
salam. Keluarlah seorang wanita membalas salam tersebut.
“Benarkah ini rumah Sya’ban?” Nabi bertanya. “Ya,
benar, saya istrinya,” jawab wanita tersebut. “Bolehkah kami menemui Sya’ban yang
tadi tidak hadir saat shalat Shubuh di masjid?”
Dengan berlinang air mata, istri Sya’ban menjawab,
“Beliau telah meninggal tadi pagi....” Innalillahi wa inna ilaihi rojiun ....
maa sya Alloh, satu-satunya penyebab dia tidak shalat Shubuh berjama’ah adalah
karena ajal menjemput. Beberapa saat kemudian istri Sya’ban bertanya kepada
Rasul saw.
“Ya, Rasul ada sesuatu yang menjadi tanda tanya kami
semua. Menjelang kematiannya, beliau berteriak tiga kali dengan masing-masing
teriakan disertai satu kalimat. Kami tidak paham apa maksudnya.”
“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya
Rasulullah.
“Di masing-masing teriakannya dia berucap ... Aduuuh
kenapa tidak lebih jauh .... Aduuuh kenapa tidak yang baru .... Aduuuh kenapa
tidak semua....”
Nabi kemudian melantunkan ayat yang terdapat dalam
surat Qaaf (50) ayat 22: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari
(hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutup) matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
Saat Sya’ban sakaratul maut, perjalanan hidupnya
ditayangkan ulang oleh Allo. Bukan Cuma itu, semu ganjaran perbuatannya
diperlihatkan oleh Alloh. Apa yang dilihat Syaban dan orang yang sakaratul maut
tidak bisa disaksikan oelh yang lain.
Dalam pandangan yang tajam itu, Sya’ban melihat
suatu adegan dimana kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk shalat
berjama’ah. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki sudah tentu bukan jarak yang
dekat. Sya’ban diperlihatkan paala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke
masjid. Di melihat seperti apa bentuk surge ganjarannya. Sat melihat itu dia
berucap: “Aduuuh kenapa tidak lebih jauh....” Timbul penyesalan dalam diri
Sya’ban. Mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapat
lebih banyak dan surga yang didapat lebih indah.
Dalam penggalan berikut, Sya’ban melihat saat ia
berangkat shalat berjama’ah di musim dingin. Ketika membuka pintu, berhembuslah
angin dingin menusuk tulang. Ia masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil satu
baju lagi untuk dipakai. Ia pun memakai dua buah baju. Sya’ban sengaja memakai
pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar. Pikirnya
jika kena debu, sudah tentu yang terkena adalah baju luar. Sampai di masjid dia
membuka baju luar dan shalat dengan baju yang lebih bagus. Dalam perjalanan ke
masjid, Sya’ban menemukan seseorang terbaring kedinginan dalam kondisi
mengenaskan.
Sya’ban pun iba lalu segera membuka baju paling luar
untuk dipakaikan kepada orang tersebut dan memapahnya untuk bersama-sama ke
masjid melakukan shalat berjama’ah. Orang itu pun terselamatkan dari mati
kedinginan bahkan sempat melakukan shalat berjama’ah.
Sya’ban melihat indahnya surga sebagai balasan ia
memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut. Ia berteriak lagi: “Aduuuh
kenapa tidak yang baru ....” Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban. Jika
dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala begitu besar, sudah
tentu ia akan mendapat lebih besar lagi seandainya memakaikan baju yang lebih
bagus.
Berikutnya Sya’ban melihat lagi satu adegan saat ia
hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke segelas
susu. Ketika hendak sarapan, muncul pengemis di depan pintu yang meminta diberi
sedikit roti karena sudah lebih tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat
hal tersebut, Sya’ban merasa iba. Ia kemudian membagi dua roti sama besar,
demikian pula segelas susu pun dibagi dua sama banyak. Mereka kemudian makan
bersama roti yang sebelumnya dicelup ke susu dengan porsi sama.
Alloh kemudian memperlihatkan ganjaran perbuatan Sya’ban
dengan surga yang indah. Demi melihat itu, ia pun berteriak lagi: “Aduuuh
kenapa tidak semua....” Sya’ban kembali menyesal. Seandainya ia member semua
roti dan susu kepada pengemis tersebut, tentulah surga yang lebi indah akan ia
dapat.
Sya’ban bukan menyesali perbuatannya tetapi
menyesali mengapa ia tidak optimal dalam berbuat baik.
Komentar
Posting Komentar